
Hidrosefalus Tak Hentikan Semangat Sekolah Riski
terkumpul dari target Rp 70.000.000
“Kok kepalanya besar..”
“Si kepala besar..”
“Gede Kepala”
Kalimat-kalimat menyakitkan yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi adik kecil piatu yang bernama Riski.
Riski tak pernah membalas dengan marah, hanya tersenyum kecil meski hatinya sering sesak. Pada nenek dan kakek, ia mengaku sering menangis karena sedih dan malu. Sejak lahir, ia hidup dengan hidrosefalus—kepalanya membesar, tapi semangat belajarnya justru lebih besar. Meski sakit, ia tetap memaksa berangkat sekolah.
Penderitaan Riski tak berhenti di tubuhnya. Di usia 9 tahun, ia harus hidup tanpa ibu yang meninggal saat usianya baru setahun karena sakit ginjal. Setiap pekan, Riski datang ke makam ibunya—mendoakan, membersihkan, mencoba menenangkan rindunya yang tak pernah hilang. Sang Ayah pun pergi merantau namun tidak pulang-pulang.
Saat kejang datang, Riski hanya bisa ditenangkan dengan usapan hangat dari neneknya—tanpa obat, tanpa rumah sakit. Bukan tak ingin, tapi tak mampu. Nenek cuma buruh tani, kakek jualan es krim keliling. Penghasilan mereka pas-pasan, cukup untuk makan seadanya, itu pun dengan tahu dan tempe.
Bahkan mereka tidak mampu membelikan sepatu sekolah untuk Riski. Riski sudah kelas 3 SD, setiap hari ia diantar jemput kakeknya sambil sesekali digendong karena Riski tidak kuat jalan jauh. Bahkan karena kondisi kesehatannya, Riski lebih sering ikut belajar dengan kelompok TK karena jauh lebih dekat dibandingkan ke sekolah.
“Emak sama Abah cuma pengen Riski bisa sembuh, sekolah, dan hidup mandiri,” ucap sang nenek pelan. “Soalnya kalau nanti kami nggak ada, siapa yang jagain dia?”

Hidrosefalus Tak Hentikan Semangat Sekolah Riski
terkumpul dari target Rp 70.000.000