Dari kejauhan, sosok Bu Siti kerap mengundang pandangan sinis—sebagian menuduhnya hanya berpura-pura. "Paling cuma masukin tangan ke baju biar dikasihani," begitu komentar miring yang sering ia dengar. Padahal kenyataannya jauh berbeda.

Bu Siti, 43 tahun, bukan perempuan yang berharap belas kasihan. Di bawah terik matahari, ia menjajakan minuman dingin di jalanan Cirebon, menolak bantuan jika dirasa bisa berdiri sendiri. Keteguhan hatinya jadi bukti: ia tak ingin dikasihani, hanya ingin dihargai.

Tak banyak kita temui penjual asongan perempuan, apalagi yang berjualan tanpa kedua tangan. Tapi Bu Siti berbeda. Sejak lahir tanpa tangan, ia sudah terbiasa menggunakan kaki untuk melakukan semua hal—dari meracik dagangan hingga menghitung uang kembalian.

Yang ia perjuangkan di jalan bukan cuma demi sesuap nasi, tapi juga demi oksigen bagi suami tercinta yang terbaring lemah karena infeksi paru. Tabung oksigen jadi napas terakhir harapan, dan Bu Siti rela menahan lapar asal suaminya bisa terus bernapas.

Dengan suara lirih, ia bercerita,

“Pernah ibu coba irit oksigen, selangnya dilepas sebentar aja... eh, belum 10 menit suami ibu langsung sesak, nafasnya pendek-pendek... Ibu panik, buru-buru pasang lagi. Sejak itu, ibu gak berani lagi. Ibu takut banget kehilangan dia...”

Sejak awal pertemuan, ketulusan Bu Siti begitu terasa. Tapi di balik hatinya yang lembut, dunia sering memperlakukannya tak adil. Keterbatasannya malah dijadikan celah oleh mereka yang tak berperasaan.

“Karena ibu gak punya tangan, banyak yang ambil sendiri minumannya... kadang uang kembalian pun diambil semua,” ucapnya pelan, mata berkaca. “Padahal itu buat beli oksigen suami...”

Setiap hari, hidup menguji Bu Siti tanpa henti. Di tengah kerasnya jalanan, ia terus melangkah, melawan keterbatasan dengan semangat tak tergoyahkan.

Yuk, jadi bagian dari perjuangannya. Bersama kita bisa bantu Bu Siti dan para pejuang jalanan lainnya punya harapan lewat modal usaha.